Aku hanya bisa terdiam didalam keributan kecil ini.
Aku tak berani ikut campur dalam mengatasi permasalahan sepele yang akhirnya menjadi besar seperti ini.
Apakah yang harus kulakukan?
Apakah aku akan berhasil menjadi anggota ARMS dengan mengalahkan peserta-peserta seperti mereka?
Chapter 9 : Piece of Truth
Suasana di basemen ini masih begitu tegang setelah kejadian pemukulan yang dilakukan Laundrup terhadap Singh. Tak ada seorangpun dari kami yang berani mengeluarkan suara maupun mengucapkan sepatah kata di ruangan ini. Dingin udara di basemen ini menyeruak ke seluruh tubuhku, membuatku mematung seperti boneka salju. Suara langkah berat dan keras yang menghantam lantai tampak memecahkan kebekuan di ruangan ini.
Kini mataku tertuju pada asal deru suara langkah yang menarik perhatian indera pendengaranku itu. Seorang pria bertubuh besar tegap, berkulit putih khas eropa dan rambut putih tipisnya yang disisir rapi menyibak ke belakang. Kedua bola matanya yang bewarna kebiruan itu tampak terbelalak ke arah kami. “Wah,wah. Pelatihan ini belum dimulai, tapi kenapa kalian sudah menumpahkan darah disini? Sepertinya kalian terlalu bersemangat.”
Tatapan mata itu kini terpusat pada Laundrup, aktor dalam peristiwa tadi. Mata Laundrup juga membalas tatapan mata pria itu dengan tajam. Seolah-olah mereka sedang berkomunikasi melalui mata mereka.
“Baiklah, pelatihan akan dimulai esok hari. pada hari ini, aku akan memberikan sedikit sejarah yang perlu kalian ketahui. Apakah kalian siap?” Pria itu kini mengamati satu persatu peserta dari atas mimbarnya.
“Siap...” Suaraku dan beberapa peserta dengan pelan. Sepertinya kami masih ketakutan untuk mengeluarkan suara. Pita suara kami seperti terkunci oleh ketakutan yang telah ditebarkan oleh Laundrup. Mungkin Laundrup lah peserta yang akan disegani oleh peserta lainnya.
“Apa-apaan suara ini? Apakah kalian lapar? Apa seperti inikah calon anggota ARMS? Atau kalian takut gara-gara aksi spektakuler salah seorang teman kita? Ingat, posisi kalian disini sama. Sebagai peserta calon anggota ARMS. Jadi kalian hanya boleh patuh dan takut terhadap para pasukan ARMS. “ ucap pria itu. Namun bagiku itu lebih mengarah pada sindiran untuk Laundrup.
“jadi apakah kalian siap?” Pria itu mengulangi pertanyaannya.
“SIAPPP... !!!” suara serempak seluruh peserta yang terdiri dari pemuda dan gadis ini begitu bersemangat. Mungkin seperti inilah cara pria itu memompa semangat peserta lain dengan mengintimidasi peserta yang kuat, sehingga peserta yang lemah tidak merasa tertekan. Sedangkan peserta yang kuat akan semakin menunjukan potensinya. Sungguh cara yang unik untuk menggali potensi.
Pria itu tampak memejamkan mata beberapa detik seperti merasakan sesuatu dari suara semangat kami. Ia kembali membuka matanya dan tersenyum. “Bagus. Itulah semangat yang harus dimiliki anak muda! Baiklah, perkenalkan namaku Xavier Jonathan. Mulai detik ini kalian memanggilku kapten Xavier. Akulah pemimpin organisasi khusus 'ARMS' . Sebuah organisasi yang menangani kasus-kasus abnormal yang sebentar lagi atau bahkan sudah bermunculan.”
“Mungkin diantara kalian masih belum mengerti mengapa kalian disebut memiliki potensi kekuatan break. Lalu apakah kalian mengerti apakah break itu? Darimana asal break itu? Mengapa diri kalian memiliki kekuatan itu?” Raut muka kapten Xavier kini berubah menjadi lebih serius.
Pertanyaan yang terlontar dari dari bibir kapten Xavier itu mungkin memang pertanyaan yang begitu dicari-cari oleh peserta lain yang memiliki potensi break. Namun aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu dari Tulo dan akhirnya sekarang aku memiliki kekuatan Break.
“Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, aku akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Kalian semua, peserta yang ada disini memiliki satu kesamaan. Kalian memiliki tanggal lahir yang sama. Yaitu tanggal 2 November 2000. dan apakah kalian ingat, tragedi yang selalu dikenang pada tanggal itu?” wajah kapten Xavier kembali serius. Ia seperti menjiwai setiap kata-kata yang diucapkannya.
“Meskipun kalian memiliki postur tubuh yang berbeda, kalian tetap sama. Hanya kemauan dan semangat ambisi kalian yang bisa menunjukan perbedaan potensi dalam diri kalian. Dan satu lagi, kalian akan memikul beban yang berat setelah kalian lahir. Itulah takdir kalian.”
Tiba-tiba layar raksasa yang terpasang di belakang kapten Xavier menyala. Cahaya terang dari layar itu menyilaukan mataku. Layar itu memutarkan sebuah film dokumentari. Sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 2 November 2000 disebuah negara yang saat ini telah binasa, Unity of America.
Menurut sejarah yang selama ini kupelajari di sekolah, 17 tahun yang lalu terjadi ledakan nuklir dalam radius skala besar yang dilakukan oleh sekelompok teroris, dan menyebabkan negara yang berkuasa saat itu, Unity of America hancur lebur tanpa sisa. Tak ada satupun warga negara yang berada di negara itu yang berhasil selamat. Negara yang sering disebut dengan UOA itu rata dengan tanah. Dan menurut pelajaran sejarah yang selalu dijelaskan oleh Mr.Edward guru sejarahku, Britain yang saat itu merupakan satu-satunya sekutu dari UOA kini mengambil peran negara tersebut untuk mengatur kestabilan negara di dunia ini dan berusaha mengejar teroris yang memiliki senjata pemusnah massal yang mampu menghancurkan UOA yang pada saat itu terkenal memiliki pertahanan negara dan peralatan tempur yang terbaik di dunia. Namun, dalam rekaman film yang diputar ini sedikit berbeda dengan yang diajarkan Mr. Edward.
Kami semua terkejut dengan rekaman film yang tak bisa kami sangka. Pada tanggal 18 November 2000, adik dari raja Britain, Charles Pierre Harrison mengadakan konferensi pers, dan menyatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas musnahnya UOA adalah sekelompok terorist yang mengatasnamakan “ARMS”.
Badanku kembali terasa membeku. Dan kepalaku dikelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan baru yang timbul setelah menonton film barusan. Apakah aku sekarang berada di sarang teroris? Apa kata orang-orang jika anak dari seorang jendral angkatan darat Britain ini adalah seorang teroris? Bukankah aku akan mempermalukan nama ayahku dan mengkhianati negaraku sendiri? Negara yang sudah hampir 17 tahun kutinggali. Perasaan bimbang kini berkecamuk didalam hatiku. Aku masih terdiam didalam lamunanku yang semakin lama membuat seluruh tubuhku mematung beku. Aku tak bisa menggerakkan organ-organ tubuhku, aku tak bisa merasakan suasana disekitarku sekarang. Ambisiku terasa goyah.
“Nah bagaimana perasaan kalian? Aku tahu pasti kalian sedang memikirkan hal yang sama. Apakah kalian percaya bahwa kami adalah teroris? Tujuan kami mengumpulkan kalian adalah untuk membuktikan sebuah kebenaran. Kebenaran yang disembunyikan oleh negara yang berkuasa saat ini, Britain.” ucap Xavier. Suasana di basement ini masih begitu hening.
“Britain telah melimpahkan kesalahan yang telah mereka perbuat kepada kami, ARMS. Organisasi yang berasal dari UOA. Sebuah organisasi yang berusaha menyelamatkan negara kami pada saat itu.” lanjutnya. “Maka dari itu aku butuh kekuatan kalian, ntuk membuktikan kebenaran dan membuka aib Britain.”
Janji kesetiaanku terhadap tanah air Britain ini benar-benar sedang diuji. Apakah harus kugunakan break-ku untuk kabur dari tempat ini? Ataukah aku harus berkhianat terhadap negaraku? Lalu apa tujuan hidupku sebenarnya? Aku mengatakan pada Tulo bahwa aku membutuhkan kekuatan break untuk memenuhi ambisiku, yaitu ambisi untuk menunjukkan dunia ideal didalam pemikiranku. Tapi, apakah itu hanya angan-angan belaka? Ambisi yang muncul tiba-tiba itu kini jarang terngiang dikepalaku. Sebenarnya apa ambisi ku ini? Ambisiku akan cita-cita ku melemah. Tak seperti waktu didalam jiwaku yang begitu menggebu-gebu untuk meyakinkan Tulo.
“Untuk malam ini, kalian dipersilahkan untuk beristirahat. Ikutilah para mentor dibelakang kalian. Mereka akan mengantarkan ke tempat istirahat kalian. Semoga kalian bisa tidur nyenyak.” ucap Kapten Xavier sembari meninggalkan panggung itu.
Para Mentor yang berdiri dibelakang kami berjumlah tujuh orang. Hanya salah satu yang kuketahui, Petra. Para peserta meninggalkan basemen dan menuju ke mentor yang berada didekat mereka. Tak ada suara berisik dari peserta seperti saat pertama kali aku tiba disini. Sepertinya semua benar-benar shock. Aku menuju ke arah Petra. Kuikuti barisan yang berjumlah kan duapuluhan peserta yang dipimpin oleh Petra. Barisan ini menuju kearah timur dari basemen tadi yang berada ditengah-tengah ruangan underground ini. Di bagian arah timur ini, terdapat sebuah pintu besi besar yang akan menghubungkan ke tempat istirahat kami. Saat Petra membuka pintu yang bertuliskan “EAST ROOM” itu, cahaya putih terang di lorong bangsal ini menyilaukan mataku. Maklum saja semenjak di basement tadi, cahaya remang-remang membuat penglihatanku sedikit buram.
Petra menghentikan langkahnya. “Baiklah, kita sudah sampai. Sekarang pilih ruangan kalian masing-masing dan pastikan kalian kunci dari dalam saat malam hari.” ucap Petra sambil mengecek satu persatu pintu kamar.
“Dan yang harus kalian patuhi, jangan pernah keluar dari East Room setelah pukul 12 malam. Dan besok pagi pukul 7 tepat kalian sudah harus hadir di cafetaria jika kalian masih ingin mengisi perut kalian. Mengerti? “lanjutnya.
Semua terdiam. “Mengerti kakak tampan..” jawab seorang peserta gadis berambut cokelat yang tampaknya terpikat oleh ketampanan Petra yang masih muda dibandingkan pasukan lainnya.
“Baguslah. Selamat beristirahat.” ucap Petra sambil meninggalkan East Room.
Aku menuju sebuah kamar yang berpintu putih dengan nomor delapan yang terpasang rapi di pintu ini. Aku menoleh ke kiri kananku, namun tak ada satupun yang kukenal. Lagipula aku juga belum berkenalan dengan siapapun saat tiba disini. Saat kubuka pintu kamarku, ada sesuatu yang menepuk pundakku. “Hey,man. Kenapa wajahmu murung?” aku menoleh kebelakang untuk memastikan sumber suara itu.
Seorang pemuda yang sepantaran denganku, namun tubuhnya lebih atletis dibandingkan denganku. Pemuda itu sesekali meniup rambut poni panjangnya yang menutupi mata kirinya hingga poninya berterbangan. Dinamepacknya tertera sebuah nama, Miguel. “Yah mungkin aku terlalu banyak memikirkan kebenaran film tadi.” jawabku lemas.
“Semua peserta juga mengalami hal yang sama denganmu,man. Termasuk aku juga. Tapi kita harus semangat kan? Pelatihan dimulai besok.” jawabnya menyemangatiku.
“kau benar. Hm.. sepertinya kau lebih baik daripada peserta lain.” jawabku memujinya. Ia tersenyum lebar sambil tertawa kecil.
“Hentikan pujianmu,man. Aku lebih suak dipuji oleh gadis daripada sesama pria.” ucap Miguel. Mata Miguel tampak mencari-cari sesuatu dipakaianku. “Siapa namamu? Kenapa kau tak memakai namepack?”
“ Sepertinya mereka lupa memberikanku namepack. Hahaha.. namaku Rowan Thomskin.” jawabku sambil mengulurkan tanganku. Miguel langsung menyambut uluran telapak tangan kananku. “nama yang bagus,man. Perkenalkan aku Miguel Angelo.” jawabnya.
“Baiklah, sepertinya kita harus beristirahat. Jika kau membutuhkanku, kau bisa menghampiriku di room 11.” jempol tangannya menunjuk kearah kanan sebelah kamarku.
“Oke, sampai bertemu besok, Miguel.” balasku.
Kini aku melangkah masuk kedalam room yang telah kupilih. Warna putih polos pada dinding kamar ini masih terlihat baru dan sedikit tercium aroma cat. Sepertinya room ini di cat ulang untuk menyambut para peserta. Tak ada perabotan lain dikamar ini kecuali sebuah tempat tidur dan lemari kayu yang sepertinya cukup usang. Kubuka pintu lemari itu yang ternyata tak terkunci. Didalam lemari usang itu terdapat coret-coretan nama orang, mungkin itu adalah nama-nama peserta terdahulu. Dan yang menarik perhatianku, guratan pena yang membekas di lemari itu tertulis nama yang kukenal, Ren. Ren Misumi. Apakah ini adalah bekas kamar Ren waktu pelatihan? Aku tersenyum kecil memikirkan ketidaksengajaan ini. Aku berbaring di tempat tidurku yang ternyata cukup empuk, serasa memijit tulang punggungku yang kaku. Kucoba untuk memejamkan mata, untuk menyongsongi esok hari yang begitu berat, pelatihan fisik.
Cafetaria pagi ini begitu tenang dan hening. Para peserta berbaris mengekor untuk mengantri jatah sarapan pagi ini, sebuah hotdog. Aku berada dibarisan paling belakang. Dinginnya udara pada malam hari dan empuknya tempat tidurku membuatku bangun terlambat. Semoga saja masih tersisa sebuah hotdog untukku.
Giliranku semakin dekat dengan setumpuk hotdog yang masih tersedia dimeja kayu itu. Seorang gadis yang mengantri didepanku tampak memilih-milih salah satu hotdog yang masih bertumpuk-tumpuk itu. Rambut pirang gelombangnya dibiarkan tergerai sehingga aroma wangi terendus oleh hidungku. Postur tubuh gadis itu tinggi semampai bak seorang model. Tapi mengapa ia mengikuti pelatihan ini? Padahal wajahnya cukup cantik. Jemari tangannya masih menari-nari di tumpukan hotdog itu. Entah sampai kapan ia akan memilih-milih hotdog.
“Nona, cepatlah! Apa kau mau membiarkan kami mati kelaparan?” teriak seseorang pemuda yang masih mengantri tak cukup jauh dibelakangku. Antrian panjang kini muncul gara-gara menunggu si nona cantik ini memilih-milih hotdog cukup lama.
“Aha..” gumam gadis itu. Gadis itu langsung mengambil sebuah hotdog dan pergi mengacuhkan orang-orang yang mengantri dibelakangnya.
Kini nampan yang kubawa sudah berisi dengan sebuah hotdog dan segelas susu yang kuambil disudut cafetaria ini. Aku menengok ke sekeliling cafetaria ini untuk mencari meja kosong yang masih tersedia. Diantara para peserta yang sedang menikmati sarapannya, mataku menangkap sebuah lambaian tangan yang menarik perhatianku. Miguel melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Disebelahya terdapat kursi kosong.
Aku segera menghampiri Miguel dan kuletakkan nampanku dimeja. “Thanks,Mig. Kau sudah disini sejak tadi?” tanyaku sambil mengoleskan mayonaise yang tersedia di meja.
“Ya, aku tak bisa tidur semalam. Sepertinya aku kelaparan sejak tadi malam. Maka aku bangun pagi dan menjadi orang pertama yang datang ke cafetaria ini.” jawabnya bersemangat meskipun kantung hitam membekas dikedua matanya.
“Kau sudah daritadi disini? Kenapa hotdogmu belum habis? Kau ingin memberikannya padaku?” balasku bercanda. Miguel langsung mengambil hotdognya yang tergeletak dimeja dan menelannya bulat-bulat sehingga ia tersedak. Kami pun tertawa keras karena aksi konyol Miguel.
Disaat kami tertawa, suasana di cafetaria ini kembali hening. Semua mata tertuju padaku dan Miguel. Seolah-olah mereka tak suka dengan keakraban kami. Kutangkap sepasang mata tajam yang melihat kearahku, bagaikan mata seorang pembunuh, tatapan mata Laundrup.
Meskipun Laundrup duduk di depan dua meja seberangku, tatapan matanya yang kejam itu terlihat jelas dan tak berpaling dariku. Aku hanya bisa menelan ludah dan berhenti menatap tatapannya. Tiba-tiba selera makanku pun hilang.
“Mig, apakah kau kenal dengan laundrup?” bisikku pada Miguel.
“Laundrup? Pemuda kekar yang kemarin memukul anak bermulut besar itu? Dia keren sekali! Hanya dengan sekali pukul bisa merobohkan lawannya. Sepertinya dia bakal menjadi peserta terkuat di pelatihan ini.” terang Miguel. Sepertinya ia sangat terobsesi dengan Laundrup.
“Tentu saja aku tahu kejadian itu. Tapi sepertinya ia sedang memelototi kita.” jawabku pelan. Mata Miguel mencari-cari sesuatu. Dia memutar posisi badannya untuk melihat sekeliling cafetaria ini. Lalu berhenti sejenak dan raut wajahnya tersenyum lebar seperti menemukan sesuatu yang ia cari. “Hei Laundrup!! kemarilah! Rowan ingin berkenalan denganmu!” teriaknya sambil membekap leherku dengan lengannya. Semua mata yang tadi mengarah pada kami kini justru megarah ke aeah Laundrup. Mereka ingin menyaksikan reaksi Laundrup. Atau lebih tepatnya tinjuan apalagi yang akan dilayangkan Laundrup kearah kami.
Aku hanya bisa diam tak berdaya dibekapan Miguel. Aku tak bisa membayangkan jika tinjuan maut Laundrup akan mendarat diwajahku. Semoga saja mendarat di wajah Miguel, karena ialah yang memancing Laundrup. Laundrup hanya terdiam dan tatapn matanya kini tidak tertuju pada kami lagi. Semoga saja ia tak marah.
“Miguel! Pelankan suaramu jika tidak kau tak akan bisa makan lagi disini.” Teriak Petra dari kejauhan. “Baiklah, waktu sarapan telah habis. Ayo kalian semua berkumpul di basemen utama.” lanjutnya. Untung saja waktu sarapan ini telah usai. Aku berhutang budi pada Petra.
Semua peserta keluar dari cafetaria yang berada dibagian utara Underground 50 ini. Sepertinya Laundrup benar-benar tak menghiraukan Miguel dan ia berjalan keluar dari cafetaria denan biasa saja. Aku berhafas lega karena aku selamat dari tinjuan Laundrup.
“Ucapanmu tadi sungguh tak lucu,Mig.” ucapku kesal. Miguel hanya menyeringaikan bibirnya dan merangkul pundakku.
“Tenang saja ,Man. Ia orang baik. Kita harus berteman dengannya.” ucap Miguel. Aku hanya bisa menghela nafas.
“Kau pikir ia akan membiarkanmu begitu saja? Di latihan nanti ia akan menghajarmu,Boy.” sahut seseorang dibelakang kami. Ternyata Leandro, sang provokator kejadian kemarin. Entah sejak kapan ia berada dibelakang kami. Tindik bintang di telinganya tampak mengkilap. Berbeda dengan tindik yang ia pakai kemarin.
Wajah Miguel mendadak mejadi kesal. “Diam kau, punk busuk! Seharusnya Laundrup juga memukulmu kemarin.”
Leandro hanya tersenyum licik dan tertawa kecil. “Lihat saja nanti, Boy.”
Semua peserta sudah berkumpul di dekat panggung basemen kemarin, tempat kapten Xavier memberi sambutan. Namun hari ini tak terlihat sosoknya di basement ini. Dan yang berada diatas panggung ini adalah Riot, Riot Pieterson. Salah seorang petinggi ARMS yang menyebalkan bagiku.
“Selamat pagi, para peserta. Apakah perut kalian sudah kenyang dengan sarapan istimewa dari kami? Semoga saja kalian betah untuk tinggal disini.” ucap Riot dari atas panggung.
“Buh. Sungguh tak lucu sama sekali.” gerutu miguel pelan disampingku.
“Aku hanya ingin menjelaskan, latihan dari hari pertama hingga hari kesepuluh adalah pelatihan fisik dan teknik. uji stamina, otot dan kecepatan kalian. Dan tahap pertama ini, kami akan menyaring 15 besar untuk bisa lolos ke pelatihan kedua, yaitu pelatihan senjata dan kerjasama. Semoga saja kalian salah satu yang bisa lolos. Bila gagal kalian akan menerima konsekuensinya bukan? Maka berusahalah sekeras mungkin!” jawab Riot dengan senyum licik. Semua peserta hanya terdiam.
15 besar? Aku harus berusaha mati-matian masuk ke 15 besar jika aku tak ingin ingatanku dihapuskan, ingatanku tentang kekuatan break.
“Nah, sekarang naiklah ke lantai atas, di underground 49, untuk latihan stamina kalian!” teriak Riot.
Mataku berpaling ke sudut utara basement ini. Di sudut bagian kiri dan kanan basement ini terdapat dua buah tangga yang besar. Tangga yang beralaskan keramik putih yang sudah mulai memudar warnanya. Tiang penyangga tangga yang terbuat dari besi itu juga sudah berkarat. Para pasukan ARMS telah siaga daritadi menunggu kami didasar tangga itu. Aku dan peserta lain berjalan menuju ke bawah tangga dimana pasukan itu sudah berdiri di tangga itu sejak aku keluar dari room ku menuju ke cafetaria.
Seorang wanita pasukan ARMS berambut boob cokelat tampak berdiri di anak tangga sebelah kiri. “Halo para peserta, namanku Janet. Sekarang pisahkan barisan kalian menjadi dua bagian untuk menaiki tangga bagian kiri dan kanan.” ucap Janet sambil membetulkan kacamta hitam casualnya.
“agar kita bisa sampai dilantai atas dengan tepat waktu, kuharap kalian memaksimalkan tenaga kalian. Semoga sarapan kalian tadi cukup memberikan tenaga untuk menaklukan seribu anak tangga ini.” lanjutnya.
“Sepertinya hari ini bakal terasa berat.” bisik Miguel terhadapku. Barisan kami terpecah menjadi dua bagian. Janet memimpin tangga sebelah kiri, sedangkan tangga sebelah kanan dipimpin oleh pasukan lain berbadan kekar.
Aku dan Miguel berada dijalur kiri. Kusempat curi pandang ke barisan yang memilih jalur kanan, kulihat Laundrup berada diantara mereka. Hatiku cukup lega karena aku tak sejalur dengan Laundrup. Dan yang terpenting saat ini, aku harus menjaga jarak dengannya.
TO BE CONTINUED
the previous chapter :
Chapter one : Hidden Potential
Chapter two :The Other's in My Soul
Chapter three : Breaking Time
Chapter four : Walking in The Silent
Chapter five : The Ceremonial
Chapter six : Special Friends
Chapter seven : ARMS
Chapter eight : Participant
0 Response to "NOVEL "BREAKERS" : CHAPTER NINE"
Post a Comment